Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan
batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam
setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam
masalah ini, agar tidak salah konotasi.
I.
Tujuan Pacaran
Ada beragam tujuan
orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih
jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang
menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh
jenjang pernikahan.
Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan.
Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan
semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan
lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai
masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan
antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah
tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan
pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu
melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang
wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.
II. Apa Yang
Dilakukan Saat Pacaran ?
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal
yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas
pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang
sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan
bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah
merupakan hal yang biasa terjadi.
Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya
adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel
yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan
pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini
sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan
memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara
jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.
Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan
yang melakukan chek-in itu suami istri atau bukan, sebab hal itu dianggap
sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah
juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan
kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan
hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan,
pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya
oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas
(SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang
serba boleh telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan
berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi
ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka
jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan
perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang.
Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang
harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa
dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari
Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.
III. Pacaran
Dalam Pandangan Islam
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika
seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa.
Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu
dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari
semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai
wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang
paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang
yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang
paling baik terhadap istriku`.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan
manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu,
maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan
ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak
mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka.
Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati
haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh
orang banyak.
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada
pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang
bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita
itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan
hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih`
kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena
dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa
memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar
kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual,
tapi tidak siap menjadi “the real man”.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan
terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan,
pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah
membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam
saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen
yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar
sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar
kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang
melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya
manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya
terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan
keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda
degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan
permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada
sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang
saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain,
bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya
sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling
mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan
singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling
bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu
langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang
terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal
yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka.
Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah
harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat,
sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan
penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami
istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang
memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah
persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang
jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW
tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi
karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4]
agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun
Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah
zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih
pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin
diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang
tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih
bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan
yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti
dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan
mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah
tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana
terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa
parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah
tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka
akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat
pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah
penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan
pengelabuhan.
Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun
segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal
mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari.
Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
setuju....
BalasHapus